PELITA: MENYALAKAN CAHAYA PENDIDIKAN BAGI ANAK SD YANG TIDAK SEKOLAH DI KABUPATEN JEMBER
PENDAHULUAN
Data dari laman resmi Dinas Pendidikan Kabupaten Jember menunjukkan bahwa fenomena anak yang tidak sekolah di Kabupaten Jember masih menjadi persoalan yang cukup serius. Pada tahun 2024 terdapat sekitar 42 ribu anak tidak sekolah (ATS) di Kabupaten Jember. Kemudian, verifikasi data tahun 2025 menunjukkan angka yang tersisa sekitar 22 ribu anak tidak sekolah setelah dilakukan klarifikasi terhadap data ganda.
Faktor-faktor yang ditemukan sebagai penyebab utama antara lain adalah kondisi ekonomi keluarga yang lemah, kebutuhan anak membantu orang tua bekerja di rumah atau ladang, serta hambatan akses dan sarana prasarana pendidikan di beberapa wilayah. Kondisi ini berlangsung di tengah target nasional bahwa setiap anak wajib mendapatkan pendidikan dasar hingga jenjang menengah sehingga angka ATS menunjukkan bahwa masih ada anak usia SD atau sederajat yang belum atau tidak melanjutkan pendidikan formal.
Lebih lanjut, data visual pada laman Dispendik Kabupaten Jember memperlihatkan bahwa anak tidak sekolah dikelompokkan berdasarkan bentuk lembaga, status sekolah, jenis kelamin dan kelompok umur. Hal ini menunjukkan bahwa masalahnya tidak hanya “anak tidak masuk SD” tetapi juga mencakup anak yang mungkin belum pernah sekolah, putus sekolah, atau tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya. Ketidaklulusan atau tidak lanjut ini secara tidak langsung menghambat akses ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan pada akhirnya mempengaruhi kualitas sumber daya manusia di wilayah tersebut.
Dari perspektif jangka panjang, angka yang masih cukup besar ini berimplikasi pada tingginya risiko generasi yang tidak tertampung dalam sistem pendidikan formal, yang pada akhirnya dapat meningkatkan ketimpangan sosial, menghambat perolehan kesempatan kerja yang layak serta memperlebar jurang kemiskinan antarwilayah. Data ini menunjukkan bahwa permasalahan anak SD yang tidak sekolah di Kabupaten Jember bukanlah angka tunggal tetapi fenomena struktural yang terkait dengan ekonomi, akses, infrastruktur, dan sistem pendidikan itu sendiri.
Mengacu pada permasalahan di atas, salah satu potensi solusi praktis yang layak dipertimbangkan di Kabupaten Jember adalah pembentukan konsep “sekolah rakyat” yakni lembaga pendidikan alternatif atau pelengkap yang bersifat inklusif, komunitas-berbasis, dan adaptif terhadap kondisi anak yang tidak sekolah formal.
Secara analitis, sekolah rakyat dapat mengisi ruang kosong di mana sistem sekolah formal gagal menjangkau anak-anak tertentu. Dalam kondisi di mana anak tidak sekolah banyak karena hambatan akses, ekonomi, atau karena putus sekolah, maka pendekatan yang fleksibel, skala lokal, dan berbasis komunitas sangat relevan. Dengan data bahwa ribuan anak belum terjangkau pendidikan formal, sekolah rakyat bisa berfungsi sebagai “jembatan” untuk mengintegrasikan anak usia SD atau sederajat ke dalam jalur pendidikan baik formal maupun non-formal.
Lebih lanjut, sekolah rakyat bisa diletakkan sebagai program yang dikelola secara kolaboratif antara pemerintah daerah, komunitas lokal, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat setempat. Dengan demikian, pendekatan ini memungkinkan adaptasi kurikulum yang lebih ringan, menggunakan waktu belajar yang sesuai dengan kondisi anak (misalnya anak yang harus membantu orang tua kerja), dan lokasi yang dekat dengan tempat tinggal anak. Hal ini akan menurunkan hambatan akses fisik dan ekonomi yang teridentifikasi sebagai penyebab utama anak tidak sekolah di Jember.
Implementasi sekolah rakyat juga berpotensi mempercepat pencapaian target wajib belajar dan memperkecil angka anak yang tinggal di luar sekolah. Karena data menunjukkan bahwa masih ada anak yang sama sekali belum sekolah atau putus sekolah, maka sekolah rakyat bisa menjadi jalur alternatif yang mengakomodasi kondisi mereka agar tetap mendapatkan pendidikan dasar. Dengan demikian, pendekatan ini bukan menggantikan sekolah formal, melainkan memperkuat sistem dengan menyediakan jalur inklusi.
Tentunya, keberhasilan sekolah rakyat akan tergantung pada beberapa faktor: dukungan anggaran yang memadai dari pemerintah daerah, sumber daya manusia (guru atau fasilitator) yang terlatih dan memahami konteks lokal, serta pemantauan dan evaluasi yang sistematis agar kualitas pendidikan tetap terjaga. Jika faktor-faktor ini mendapat perhatian serius, maka potensi sekolah rakyat di Kabupaten Jember bisa menjadi contoh bagaimana pendidikan dasar dapat diperluas ke kelompok anak yang selama ini terabaikan.
Dengan mempertimbangkan data yang menunjukkan bahwa puluhan ribu anak di Kabupaten Jember masih belum sekolah atau putus sekolah dan melihat potensi solusi melalui pembentukan sekolah rakyat, maka dapat disimpulkan bahwa upaya inovatif perlu segera dilakukan. Sekolah rakyat menawarkan model yang adaptif terhadap situasi lokal yang komplek dan bila difokuskan pada anak SD yang tidak sekolah, maka kontribusinya terhadap pengurangan angka ATS bisa signifikan. Untuk itu, langkah‐langkah implementasi yang sistematis dan kolaboratif menjadi kunci agar potensi ini tidak hanya menjadi wacana, tetapi realitas yang memberi manfaat bagi anak-anak Jember.
PEMBAHASAN
Pendidikan merupakan hak dasar setiap anak Indonesia tanpa terkecuali. Namun, realita di lapangan masih menunjukkan kesenjangan yang cukup mengkhawatirkan, khususnya di Kabupaten Jember. Masih banyak anak-anak usia sekolah dasar yang belum tersentuh pendidikan formal. Berdasarkan data, jumlah siswa SD negeri mencapai 7.706 anak, sedangkan di sekolah swasta sekitar 738 anak. Angka tersebut memperlihatkan adanya ketimpangan karena masih terdapat anak-anak lain yang tidak terdaftar di sekolah manapun. Kondisi ini menandakan bahwa sebagian anak di Jember belum menikmati hak pendidikan sebagaimana mestinya, entah karena faktor ekonomi, kurangnya kesadaran orang tua, maupun keterbatasan fasilitas pendidikan di daerah pedesaan.
Dari permasalahan tersebut, lahirlah gagasan “Pelita” (Pendidikan untuk Literasi dan Tumbuh Aksi). Nama Pelita dipilih karena melambangkan cahaya harapan bagi anak-anak yang belum bersekolah. Program ini bertujuan membantu anak-anak usia sekolah dasar yang tidak bersekolah agar memperoleh kembali hak pendidikannya. Melalui pendekatan edukatif, sosial, dan kolaboratif antara masyarakat, mahasiswa, sekolah, serta pemerintah daerah, Pelita diharapkan mampu menjadi gerakan nyata untuk menyalakan semangat belajar di pelosok Jember.
Secara garis besar, Pelita berfokus pada tiga hal: pendataan, pendampingan, dan pemberdayaan. Tahap pertama adalah identifikasi dan pendataan anak-anak usia 7–12 tahun yang tidak bersekolah, dilakukan bersama RT/RW, kader PKK, dan perangkat desa. Langkah ini penting agar pemerintah dan masyarakat memiliki data akurat mengenai jumlah anak yang perlu dibantu. Tahap kedua yaitu kelas literasi dasar, berupa kegiatan belajar informal yang dilaksanakan tiga kali seminggu di balai desa, rumah baca, atau musholla setempat. Kelas ini difokuskan pada kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (calistung) dengan melibatkan mahasiswa, guru relawan, serta komunitas literasi. Setelah kemampuan dasar anak meningkat, dilakukan tahap ketiga yaitu integrasi ke sekolah formal, di mana anak-anak difasilitasi untuk mendaftar di SD terdekat, baik negeri maupun swasta. Mereka akan dibantu dari sisi administrasi, seragam, hingga perlengkapan belajar. Agar program berkelanjutan, dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala bersama Dinas Pendidikan Kabupaten Jember.
Dalam pelaksanaannya, gagasan Pelita memiliki beberapa kekuatan dan tantangan. Dari sisi Strength (kekuatan), program ini memiliki dukungan sosial yang besar karena melibatkan banyak pihak, terutama mahasiswa dan masyarakat yang peduli pendidikan. Selain itu, biayanya relatif rendah karena memanfaatkan sumber daya lokal. Namun, Weakness (kelemahan) yang mungkin muncul adalah keterbatasan jumlah relawan serta belum adanya sistem pendataan terpusat tentang anak tidak sekolah di setiap desa. Di sisi lain, Pelita menyimpan Opportunities (peluang) yang luas, seperti potensi menjadi program percontohan di tingkat kabupaten dan menarik kerja sama CSR perusahaan lokal. Adapun Threats (ancaman) yang perlu diantisipasi adalah rendahnya komitmen jangka panjang dari pihak terkait serta faktor ekonomi keluarga yang bisa membuat anak kembali putus sekolah.
Untuk mewujudkan gagasan ini, Pelita dirancang dengan ide implementasi yang konkret dan berkelanjutan. Program dapat dimulai dari satu kecamatan di Kabupaten Jember sebagai proyek percontohan, misalnya Kecamatan Muncar atau Arjasa. Langkah pertama adalah membentuk Tim Relawan Pendidikan yang terdiri dari mahasiswa Politeknik Negeri Jember, guru muda, serta masyarakat peduli pendidikan. Mereka akan bertugas melakukan pendataan dan mengajar di kelas literasi dasar. Selanjutnya, dicanangkan gerakan “Satu Rumah Satu Anak Sekolah”, yaitu ajakan bagi keluarga yang mampu untuk membantu minimal satu anak agar bisa kembali bersekolah. Selain itu, dibangun Rumah Pelita, yaitu pos belajar sederhana yang berfungsi sebagai pusat kegiatan belajar, diskusi, dan kampanye pentingnya pendidikan. Program ini juga melibatkan kerja sama dengan Dinas Pendidikan dan pemerintah desa dalam hal penyediaan beasiswa perlengkapan sekolah serta transportasi bagi anak yang berjarak jauh dari sekolah. Terakhir, dilakukan publikasi dan kampanye sosial melalui media lokal untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan dasar bagi masa depan generasi Jember.
Dengan langkah-langkah tersebut, Pelita tidak hanya sekadar gagasan, tetapi juga gerakan nyata yang lahir dari kepedulian dan semangat gotong royong masyarakat Jember. Program ini diharapkan dapat menekan angka anak tidak sekolah dan menumbuhkan kembali semangat belajar di kalangan anak-anak usia SD. Seperti namanya, Pelita diharapkan menjadi cahaya kecil yang mampu menerangi jalan pendidikan anak-anak di pelosok desa, hingga tak ada lagi generasi yang tertinggal karena gelapnya ketidaktahuan. Melalui pendidikan, masa depan Jember akan semakin cerah, dan cita-cita Indonesia Emas 2045 bukan lagi sekadar mimpi, melainkan kenyataan yang dapat diraih bersama.
KESIMPULAN
Pelita (Pendidikan untuk Literasi dan Tumbuh Aksi) adalah gagasan solutif yang muncul sebagai respons terhadap tingginya angka anak tidak sekolah (ATS) usia SD di Kabupaten Jember, yang mencerminkan ketimpangan serius dalam akses pendidikan dasar. Program ini dirancang sebagai gerakan sosial berbasis masyarakat untuk menjembatani anak-anak tersebut kembali ke bangku pendidikan melalui tiga fokus utama: pendataan akurat, kelas literasi dasar, dan integrasi ke sekolah formal. Kekuatan Pelita terletak pada kolaborasi lintas sektor yang melibatkan masyarakat, mahasiswa, dan pemerintah, menjadikannya model gerakan pendidikan rakyat yang efektif dengan biaya operasional rendah. Dengan strategi implementasi yang konkret, termasuk proyek percontohan dan gerakan "Satu Rumah Satu Anak Sekolah," Pelita berpotensi besar untuk menekan angka ATS secara berkelanjutan di Jember. Kesimpulannya, Pelita diharapkan menjadi "cahaya harapan" yang mewujudkan hak pendidikan sejati bagi seluruh generasi Jember, membuka jalan menuju masa depan yang lebih cerah bagi daerah tersebut.
0 Response to "PELITA: MENYALAKAN CAHAYA PENDIDIKAN BAGI ANAK SD YANG TIDAK SEKOLAH DI KABUPATEN JEMBER"
Posting Komentar