About

LENTERA: Peran Organisasi Perempuan Jember sebagai Cahaya di Tengah Krisis dan Kekerasan

 Pendahuluan

Kekerasan terhadap perempuan (KtP) adalah pelanggaran hak asasi manusia dan penghalang utama tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 5: Kesetaraan Gender. Secara global, KtP mengancam stabilitas sosial dan ekonomi. Di Indonesia, tantangan ini semakin mendesak, terutama di tingkat regional. Kabupaten Jember, sebuah daerah dengan populasi besar dan karakter sosio-kultural yang khas, dilaporkan mengalami peningkatan kasus kekerasan, baik Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) maupun kekerasan seksual.

Urgensi dan Data Awal: Kenaikan kasus di Jember menunjukkan bahwa mekanisme perlindungan yang ada (seperti shelter atau pendampingan hukum) mungkin hanya bersifat rehabilitatif dan tidak cukup preventif. Data dari instansi terkait, seperti P2TP2A atau Dinas Pemberdayaan Perempuan Jember, sering kali hanya mencerminkan fenomena gunung es—kasus yang dilaporkan jauh lebih sedikit daripada kasus yang sebenarnya terjadi karena adanya stigma sosial, ketakutan, dan minimnya literasi hukum korban. Ini menggarisbawahi urgensi untuk menciptakan solusi yang menyentuh akar permasalahan di tingkat masyarakat terkecil.

Potensi Solusi dan Diferensiasi: Selama ini, solusi sering terfokus pada ranah hukum dan pelayanan korban. Namun, solusi yang diajukan dalam esai ini berpusat pada Intervensi Berbasis Komunitas (IBK) yang melibatkan tokoh agama, tokoh adat, dan perangkat desa (RT/RW/Kades) sebagai agen perubahan. Perbedaan mendasar dari ide yang sudah ada adalah pergeseran fokus dari penanganan pasca-kejadian menjadi pencegahan proaktif melalui perubahan norma sosial dan keterlibatan kelembagaan lokal yang selama ini diabaikan dalam strategi pencegahan kekerasan.

Pembahasan

Pencegahan kekerasan di Jember harus dihadapkan pada dua permasalahan utama: data yang tersembunyi dan kekuatan kultural lokal.

1. Mengatasi Permasalahan Data Jember (Fenomena Gunung Es): Data resmi yang menunjukkan kenaikan kasus di Jember kemungkinan besar tidak mencakup keseluruhan. Masyarakat Jember yang beragam (Jawa, Madura, Pandalungan) memiliki nilai-nilai komunal yang kuat, di mana urusan rumah tangga sering dianggap tabu untuk diumbar ke ranah publik. Solusinya bukanlah hanya memperbaiki sistem pencatatan, melainkan membangun kepercayaan masyarakat agar berani melapor.

  • Penerapan: Pembentukan Posko Pengaduan Ramah Korban di setiap Balai Desa atau bahkan di tingkat RT/RW, yang dikelola oleh relawan terlatih. Posko ini harus dijamin kerahasiaannya dan fungsinya sebagai jalur mediasi dan rujukan awal, bukan sekadar kantor polisi. Hal ini akan mempersempit jurang antara kasus yang terjadi dan kasus yang tercatat dalam data.

2. Strategi Penyesuaian dengan Konteks Kabupaten Jember: Kunci sukses implementasi IBK adalah menggunakan saluran komunikasi yang sudah dipercaya masyarakat Jember.

  • Pendekatan Kultural dan Agama (Uluran Tangan Tokoh Agama): Jember dikenal dengan institusi pesantren dan tokoh agama yang berpengaruh. Kekerasan sering dipicu oleh pemahaman gender yang tidak setara atau interpretasi ajaran agama yang patriarkis. Solusinya adalah melibatkan ulama dan tokoh agama dalam Program Khutbah Jumat atau Pengajian Edukasi. Mereka dapat menyampaikan pesan-pesan anti-kekerasan, pentingnya kesetaraan dalam rumah tangga, dan pemenuhan hak-hak perempuan sesuai ajaran agama, yang jauh lebih efektif mengubah norma sosial daripada sekadar sosialisasi formal dari pemerintah.

  • Penguatan Kelembagaan Lokal (Aksi Kades dan RT/RW): Kepala Desa (Kades) dan Ketua RT/RW adalah garda terdepan. Mereka harus dilatih bukan hanya sebagai administrator, tetapi sebagai Pencatat dan Mediator Anti-Kekerasan. Pelatihan ini mencakup cara mendeteksi tanda-tanda awal KDRT, teknik mediasi yang aman, dan jalur rujukan cepat ke kepolisian/lembaga perlindungan. Dengan demikian, pencegahan dimulai dari pintu rumah tangga, sebelum kekerasan memuncak.

  • Kemandirian Ekonomi Perempuan (Pencegahan Sekunder): Ketergantungan ekonomi sering kali menjadi alasan utama perempuan bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan. Mengatasi masalah ini di Jember dapat dilakukan dengan integrasi program pencegahan KtP dengan program pemberdayaan ekonomi desa, seperti pelatihan keterampilan berbasis kearifan lokal Jember (misalnya, kerajinan, olahan pangan) yang dapat memberikan penghasilan tambahan dan kemandirian.

Kesimpulan

Peningkatan kasus kekerasan pada perempuan di Kabupaten Jember adalah alarm serius yang mengancam capaian SDG 5. Untuk mengatasinya, Jember tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan hukum pasca-kejadian. Diperlukan strategi komprehensif yang memadukan penguatan data dengan Intervensi Berbasis Komunitas (IBK) yang sensitif terhadap budaya lokal. Melibatkan tokoh agama, perangkat desa (Kades, RT/RW), dan fokus pada perubahan norma sosial melalui edukasi proaktif adalah kunci utama. Sinergi antara pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, dan seluruh komponen masyarakat Jember mutlak diperlukan untuk memastikan bahwa Jember dapat menjadi wilayah yang aman, adil, dan setara bagi semua perempuan, sekaligus mencapai Target 5.2 dari SDGs.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "LENTERA: Peran Organisasi Perempuan Jember sebagai Cahaya di Tengah Krisis dan Kekerasan"

Posting Komentar